Pages

Sabtu, 30 Oktober 2010

Kebebasan Pers Dalam Perspektif Pidana Ditinjau Dari RUU KUHP # 1

Oleh: Frans Hendra Winarta
Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang Iebih demokratis telah banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadangkala tereskalasi menjadi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga, halangan dan masalah yang terjadi dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang lebih baik.


Berbicara mengenai perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi. Apakah akan dianut kebebasan pers secara mumi sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama balk seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia menjalankan profesinya? Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya?
Hal tersebut menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah, karena hal tersebut merupakan bagian dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum.
Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukkan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi, dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawanannya. Hal ini penting untuk menjaga objektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman sebagaimana masa Orde Baru berkuasa (self-censorship).
Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu, jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini,  bagaimanapun juga asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan  (immune) sebagai subjek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku di Indonesia.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai mengingat belum seluruh rakyat Indonesia memiliki pendidikan dan tingkat intelegensia yang memadai. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab, maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan, paling tidak melalui rambu hukum. Sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab.
Yang menjadi masalah adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.
Contohnya adalah, berita Newsweek tentang pelecehan Qur’an di Guantanamo yang ternyata merupakan kesalahan narasumber dan Newsweek meminta maaf atas kesalahan tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam pemberitaan.
UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (“UU Pers”) sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenanya yang untuk sementara pihak dianggap mengandung ketidakseimbangan. Namun dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan pers.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara. Hanya saja, kebebasan tersebut bukanlah kebablasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia.
Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (“RUU KUHP”) yang baru saat ini, maka Pasal 511 sampai dengan Pasal 515 RUU KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan Pers.
Untuk masalah penghinaan Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu terlihat dari unsur-unsumya sebagai berikut, yaitu setiap orang, dengan lisan, menghina menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.
Makalah disampaikan pada Diskusi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional 8 Juni 2005, dimuat dalam hukumonline pada 15/6/05.
Disadur dari www.h-mono.blogspot.com/2010/10/kebebasan-pers-dalam-perspektif-pidana.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, tetapi dengan menjaga kesopanan